3 HARI 2 MALAM : Desa Kalong Liud dan Cara Pandang dalam Melihat Kemiskinan

By Putu Riana Pertiwi - 04 Desember

Perjalanan dari Dramaga Bogor menuju Desa Kalong Liud, Kecamatan Nanggung ini bisa ditempuh dengan menggunakan transportasi ikonik kota Bogor, Angkot. Saat itu Bulan Oktober 2016. Saya tidak sendiri melainkan bersama-sama teman seperjuangan di bangku kuliah. Tentu saja pada awalnya kami tidak mengetahui rutenya, tetapi teknologi (GPS) sangat memudahkan perjalanan kami. Dengan perjalanan yang ditempuh sekitar 2 jam kami pun sampai di Desa Kalong Liud. Potensi utama Desa ini tentu seperti yang ada di benak kita saat mendengar kata desa, yaitu Pertanian. Desa, Pertanian, dan Kemiskinan terdengar sebagai suatu hubungan yang lumrah. Karena cara pandang kita adalah memandang desa dari pusat kota, bukan memandang desa dari dalam. 

Bahasan disini tampaknya cukup seksi ya? Tentang kemiskinan yang identik dengan pedesaan, ataukah tentang desa yang identik dengan budaya kemiskinan?. 

Sebenarnya kemiskinan itu apa sih? Apakah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari? Apakah kondisi perumahan yang tidak layak? Atau di jaman sekarang kita disebut miskin karena tidak memilki smartphone? 

Adapula berbagai macam cara masyarakat dalam menghadapi kemiskinan. Ada yang pasrah karena menganggap hidup ini harus diterima apa adanya, ada yang berjuang dan berusaha keluar dari kemiskinan ditengah desakan kepentingan-kepentingan dan akses yang tidak memadai. Jika dilihat dari berbagai literatur, kita bisa menemukan bahwa ada berbagai cara dalam mengukur kemiskinan. Seperti Garis Kemiskinan Sajogyo yang mengukur kemiskinan dengan melihat konsumsi dan pengeluaran setara dengan kg beras. Ada juga ukuran Kebutuhan Fisik Minimum yang melihat seberapa mampunya dalam memenuhi kebutuhan dasar yaitu sandang, pangan, dan papan. 

Kembali ke Desa Kalong Liud. 

Pagi, siang dan sore kami berjalan-jalan disekitar pemukiman, persawahan, dan sungai untuk "mencari" jejak-jejak kemiskinan menurut mata kami. Sedikit yang ditemukan secara kasat mata. Setelah banyak diskusi, akhirnya kami mencoba memandang kemiskinan di desa itu dari sudut pandang masyarakat desa. Iya benar. Apa yang menurut kita sebagai kategori miskin, belum tentu miskin bagi mereka. 

Dan benar saja, setelah kami membuat peta sosial yang mengidentifikasi aset milik warga kemudian mendiskusikannya secara bersama-sama. 

Beberapa dari mereka menyampaikan bahwa:

"saya kalau sudah cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja itu sudah mewah. kalau kendaraan, hape sih tidak menjadi ukuran"

"saya merasa miskin karena tidak mampu membayar cicilan motor" 

"saya tidak memiliki rumah bukan karena tidak mampu, tapi karena tinggal bersama dengan keluarga mertua" 

Dari pandangan ini, kemiskinan memang relatif tergantung cara pandang dan kesepakatan di masyarakat. Tergantung pula dengan strata orang tersebut dalam masyarakat. Tapi, memberikan penyadaran tentang kemiskinan itu juga perlu agar selalu memiliki keinginan untuk menjadi lebih baik. 

Saya sendiri dari awal bahkan sampai pulang pun masih terus berpikir tentang apa yang disebut miskin. Apakah satu-satunya kemiskinan yang ditakuti di dunia ini adalah perkara miskin material?

  • Share:

You Might Also Like

0 comments